HARI INI 103 tahun yang lalu. Terlepas dari pro dan kontra ditetapkannya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, namun melaui momentum Kebangkitan Nasional tahun ini hendaknya kita jadikan tonggak untuk bangkit dari segala keterpurukan baik moral, keimanan, ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan. Mungkin terlambat kita untuk bangkit setelah 13 tahun reformasi. Tapi lebih baik terlambat dari pada terpuruk selamanya.
Pro kontra dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, seperti kelahiran Boedi Oetomo yang dinilai sebagian orang tidak layak sebagai hari kebangkitan nasional, perlu dikaji dengan data dan fakta yang jelas. Sehingga kekeliruan tersebut bisa diluruskan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Jika ada yang mempertanyakan sejarah, tentu mereka punya alasan yang jelas ketika mempertanyakannya. Maka sejarah itu patut dikaji kembali. Agar keraguan tersebut dapat diluruskan.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedi Oetomo, yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
Boedi Oetomo, sebagai tongak kebangkitan nasional terjadi karena sebagian orang berpikir Boedi Oetomo baru berkiprah di Pulau Jawa saja. Sehingga dia dianggap belum pantas menyandang predikat tongak kebangkitan nasional.
Dijadikannya Boedi Oetomo sebagai tonggak kebangkitan nasional merupakan hasil kajian orang-orang terdahulu, kita patut menghargainya. Tapi jika memang diragukan, maka perlu pengkajian yang dalam, tentunya harus didukung dengan data dan fakta.
Cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia, tertuang dengan jelas dan seksama sejak diikrarkannya hari sumpah pemuda. Dihari itu seluruh pemuda Indonesia menyatukan visi dan misinya untuk menyatukan seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Untuk memperjelas sejarah yang mulai diragukan, maka sejarawan perlu duduk bersama, untuk meluruskan sejarah yang anggap salah. Sehingga kekeliruan itu bisa dijadikan pelajaran di kemudian hari agar tidak terulang hal yang sama.
Pro kontra dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, seperti kelahiran Boedi Oetomo yang dinilai sebagian orang tidak layak sebagai hari kebangkitan nasional, perlu dikaji dengan data dan fakta yang jelas. Sehingga kekeliruan tersebut bisa diluruskan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Jika ada yang mempertanyakan sejarah, tentu mereka punya alasan yang jelas ketika mempertanyakannya. Maka sejarah itu patut dikaji kembali. Agar keraguan tersebut dapat diluruskan.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang dilakukan oleh para penguasa sekular. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedi Oetomo, yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.
Boedi Oetomo, sebagai tongak kebangkitan nasional terjadi karena sebagian orang berpikir Boedi Oetomo baru berkiprah di Pulau Jawa saja. Sehingga dia dianggap belum pantas menyandang predikat tongak kebangkitan nasional.
Dijadikannya Boedi Oetomo sebagai tonggak kebangkitan nasional merupakan hasil kajian orang-orang terdahulu, kita patut menghargainya. Tapi jika memang diragukan, maka perlu pengkajian yang dalam, tentunya harus didukung dengan data dan fakta.
Cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia, tertuang dengan jelas dan seksama sejak diikrarkannya hari sumpah pemuda. Dihari itu seluruh pemuda Indonesia menyatukan visi dan misinya untuk menyatukan seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Untuk memperjelas sejarah yang mulai diragukan, maka sejarawan perlu duduk bersama, untuk meluruskan sejarah yang anggap salah. Sehingga kekeliruan itu bisa dijadikan pelajaran di kemudian hari agar tidak terulang hal yang sama.